PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN AL-FATTAH (MH 357) BOJONGMENGGER - CIJEUNGJING - CIAMIS - JAWA BARAT - INDONESIA

Selasa, 25 September 2012

HUJJAH YANG KELIRU.


“ Apakah tempe itu halal ?. “ Ketika pertanyaan ini diajukan tentu kita tidak perlu berfikir lama, kita akan dengan sangat yakin mengatakan: “ Halal. “ Tetapi ketika pertanyaan berlanjut, “ Tolong sebutkan ayat berapa dalam surat apa atau hadits riwayat siapa yang menyatakan bahwa tempe itu halal ?. “ Tentu untuk menjawab pertanyaan kedua ini kita perlu sedikit memeras keringat atau bahkan berfikir cukup lama untuk mendapatkan jawabannya.

Asasinya apa pun yang ada di bumi ini semuanya halal bagi kita sebagaimana firman-NYA di dalam al-Quran surat al-Baqarah [ 2 ] ayat 29:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ...

“ Dialah [ Allah ] yang telah menciptakan bagi kalian apa-apa yang ada di bumi ini semuanya … “

Berdasar kepada ayat ini ulama ahli usul menetapkan qaidah hukum:
اَلْأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ ( الْمُعَامَلَةِ ) اَلْإِبَاحَةُ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهِ

“ Segala sesuatu yang bertalian dengan masalah keduniaan [ mu’amalah ] hukum pokoknya halal sehingga ada dalil yang mengharamkannya. “

Ayat dan qaidah usul ini menjadi jawaban bagi pertanyaan kedua; kita katakan bahwa “ tempe itu hukumnya halal “ karena tempe termasuk ke dalam masalah keduniaan [ mu’amalah ] dan tentang hal ini tidak ada dalil yang mengharamkannya, atau dengan kata lain kita mengataklan bahwa tempe itu halal karena tidak ada dalil yang mengharamkannya. Jadi sebenarnya pertanyaan kedua itu tidak pada tempatnya, karena dalam masalah mu’amalah [ keduniaan ] itu bukan mencari dalil yang menghalalkan melainkan mencari dalil yang mengharamkan.

Hal ini bertolak belakang 180 derajat dengan masalah ta’abbuyiyah; kalau dalam masalah mu’amalah hukum pokoknya ibahah [ halal ] kecuali apabila ada dalil yang menyatakan keharamannya, sementara dalam masalah ibadah hukum pokoknya haram [ batal ] sehingga ada dalil yang mencontohkannya, sebagaimana dalam qaidah usul:
اَلْأَصْلُ فِى الْعِبَادَةِ اَلْبُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ عَلَيْهَا

“ Segala sesuatu yang bertalian dengan masalah ibadah hukum asalnya batal [ haram ] sehingga ada dalil yang mencontohkannya. “

Tentunya tidak bisa dibenarkan apabila ada seseorang yang menunaikan shalat subuh sebanyak tujuh raka’at lalu dia beralasan bahwa hal itu dia lakukan karena tidak ada dalil yang melarang shalat subuh tujuh raka’at. Jelas hal itu haram dilakukan karena Nabi saw tidak mencontohkannya, beliau mencontohkan shalat subuh itu hanya dua raka’at.

Mensikapi tentang umrah sunnat [ beberapa kali umrah dalam satu keberangkatan ] yang seringkali pelakunya beralasan “ Karena tidak ada dalil yang melarang “ tentu alasan [ hujjah ] ini sangat tidak tepat, karena alasan di atas peruntukannya bagi masalah mu’amalah sementara dalam masalah ta’abbudiyyah – sebagaimana qaidah di atas – bukan mencari dalil yang melarang melainkan mencari dalil yang mencontohkan. Sementara berdasarkan riwayat-riwayat, Nabi saw menunaikan umrah sebanyak empat kali dalam empat perjalanan, atau dengan kata lain dalam satu kali perjalanan [ kedatangan ] ke Makkah Beliau saw hanya melakukan satu kali umrah. Bahkan dari seratus ribu sahabat yang turut serta datang ke Mekah untuk menunaikan haji bersama Rasulullah saw tahun 10 Hijriyyah, tidak ada satu orangpun yang menunaikan umrah sunnat. Abdurrahman bin Abu Bakar sendiri yang menemani siti Aisyah pergi ke Tan’im ternyata dia tidak melakukan umrah sunnat.

Walhasil umrah sunnat [ melakukan beberapa kali umrah dalam satu perjalanan ] laksana menunaikan shalat subuh sebanyak tujuh raka’at.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar BARAYA

Designed By Noo El-Ghonzy